Alhamdulillahi wa sholatu wa salamu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala ashaabihi wa man tamassaka bi sunnatihi ‘ila yaumddin.
Di dalam kitab Arbai’n An Nawawiyah, Imam An Nawawi rahimahullahu
membawakan sebuah hadits yang agung, yang beliau tempatkan hadits ini
pada urutan ketujuh pada kitab beliau tersebut. Yaitu hadits dari
shahabat Abu Ruqaiyah Tamiim bin Aus Ad Dariy radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam telah bersabda :
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ
وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
».
“Agama adalah nasehat. Kemudian kami (para shahabat)
bertanya, “Nasehat untuk siapa?”, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
menjawab, “Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk
pemimpin kaum muslimin dan untuk kaum muslimin secara umum.” [1]
Keutamaan Hadits
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, hadits ini memiliki
kedudukan yang sangat agung. Di dalam hadits tersebut terkandung poros
seluruh ajaran agama Islam. Artinya seluruh ajaran agama Islam berputar
berdasrkan hadits tersebut.pent Adapun perkataan sebagian
ulama, yang mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat
agama, maka hakikatnya bukanlah seperti apa yang mereka katakan. Bahkan
yang benar adalah seluruh ajaran agama Islam berporos pada hadits ini.(Syarah Shahih Muslim, 2/116).
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzohullahu mengatakan, seluruh ajaran agama Islam tercakup di dalam hadits ini, yaitu hadits Ad Dinu An Nashihah. Karena hadits tersebut mencakup segala macam hak, yaitu hak Allah subhanahu wa ta’ala, hak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan hak manusia pada umumnya.(Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal.125)
Maka seluruh perkara dalam ajaran agama Islam terangkum dalam hadits
yang singkat ini. Baik perkara aqidah, perkara ibadah ataupun perkara
mu’amalah. Di mana seluruh perkara tersebut merupakan perwujudan
hak-hak yang disebutkan di dalam hadits tersebut.
Makna Hadits
Dalam hadits tersebut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memberitakan kepada para shahabat beliau bahwa hakikat agama Islam adalah nasehat. Beliau bersabda “Ad Diinu An Nashihatu”. Ditinjau dalam ilmu nahwu, perkataan beliau ini terdiri dari mubtada’[2] dan khobar[3] yang keduanya dalam keadaan ma’rifat[4]
(definit). Keadaan semacam ini merupakan keadaan yang khusus.
Dijelaskan oleh para ahli bahasa arab, bahwa keadaan semacam ini, yaitu mubtada’ dan khobar yang keduanya dalam keadaan ma’rifat, dimaknai dengan makna pembatasan.
Maka sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam di sini, yaitu: “agama adalah nasehat” dapat dimaknai dengan ungkapan: “tidaklah agama Islam ini melainkan hanyalah nasehat semata”.(Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 135.)
Kata (الدين) ‘ad din’ dalam bahasa arab memilki dua makna. Makna pertama adalah ‘pembalasan’, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
dalam surat al-Fatihah, (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ), yang artinya
adalah, “Yang menguasai hari Pembalasan”. Makna yang kedua adalah
‘agama’, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat
al-Ma’idah (وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ), artinya “Dan telah
Aku ridhoi Islam sebagai agama bagi kalian”.
Kesimpulan yang tepat dalam hadits tersebut, kata ‘ad dinu’ dimaknai dengan makna yang kedua, yaitu ‘agama’. (Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 136).
Abu Sulaiman Al Khathabi rahimahullahu mengatakan tentang definisi an nashihah (nasehat). Beliau mengatakan bahwa “an nashihah” merupakan kata yang luas cakupan maknanya. Maknanya adalah menghendaki kebaikan bagi orang lain yang diberi nasehat. Kata an nashihah diambil dari ungkapan (نصح الرجل ثوبهه)/nashoha ar rajulu tsaubahu,
artinya seseorang yang menjahit pakaiannya. Perbuatan seseorang yang
memberi nasehat kepada orang lain, pada hakekatnya adalah menghendaki
kebaikan pada orang yang diberi nasehat. Hal ini diserupakan dengan
perbuatan seorang penjahit yang menambal lubang pada pakaian. (Syarah Shahih Muslim,hal. 116)
Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzohullahu menjelaskan, kata ‘an nashihah’ dalam bahasa Arab, dapat ditafsirkan dengan dua penafsiran :
- Pertama, kata ‘an nashihah’ dimaknai dengan (الخلوص) ‘al khulus’, yang artinya suci dan bersih dari kotoran. Semisal dikatakan dalam bahasa arab : (عسل ناصح) ‘aslun nashihun’, artinya madu yang tidak tercampur dengan pengotor apapun.
- Kedua, kata ‘an nashihah’ dimaknai dengan ‘al iltiamu syaiaini’ (dua hal yang saling merapat dan bersatu, sehingga tidak berjauhan di antara keduanya). Artinya kita membuat hubungan yang sesuai antara dua hal, sehingga kedua hal tersebut merapat dan tidak ada celah di antara keduanya. Maka dikatakan bahwa penjahit (الخياط)/ ‘al khiyatu’ merupakan orang yang memberikan nasehat (ناصح)/ ‘an nashihu’, karena biasanya seorang penjahit menyatukan antara dua sisi kain dengan jahitan yang dia buat.
Kemudian berangkat dari macam pengertian ini, Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzohullahu menjelaskan tentang kata nasehat dalam hadits yang mulia tersebut. Kata nasehat ketika dimaknai dengan ‘menghendaki kebaikan pada orang yang diberi nasehat’, maka pengertian ini hanyalah terkait dengan nasehat kepada pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.
Adapun nasehat kepada tiga yang awal, yaitu kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kepada Kitab-Nya dan kepada Rasul-Nya, maka makna nasehat di sini dimaknai dengan ‘iltiamu syaiaini/ merapatnya hubungan antara kedua hal, sehingga keduanya saling berdekatan dan tidak terpisah. Yaitu dengan memenuhi haknya masing-masing secara penuh, berupa hak Allah subhanahu wa ta’ala, hak Kitab-Nya dan hak Rasul-Nya , sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Seorang hamba mendekatkan diri kepada Rabbnya yaitu dengan memenuhi hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala,
dimana hal ini merupakan kewajiban bagi seorang hamba. Begitu pula
yang seharusnya seorang hamba lakukan berkaitan dengan hak-hak Al Quran
dan hak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. (Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal. 125-126).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sengaja menyamarkan perkataan beliau tentang hakikat agama Islam di hadapan para shahabat radhiyallahu ‘anhum,
dengan beliau hanya mengatakan (yang artinya) “agama adalah nasehat”.
Hal ini dimaksudkan agar para shahabat bertanya-tanya tentang
penjelasan dari perkataan beliau tersebut.
Karena dalam bahasa arab, bahkan dalam seluruh bahasa yang ada,
perkataan yang mula-mula datang dalam bentuk global, baru kemudian
datang perincian dan penjelasannya, merupakan salah satu sebab kuatnya
pemahaman orang yang mendengarnya. Karena orang yang mendengarkan
perkataan dalam bentuk global, akan dibuat bertanya-tanya dan berusaha
mencari perinciannya. Hal ini merupakan salah satu metode agar orang
yang mendengarkan lebih paham dan perhatian terhadap apa yang dikatakan.
Berbeda apabila penjelasannya sudah datang di awal perkataan. (Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 136)
Kandungan Hadits
Nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala (النّصيحة لله)
Sebagaimana penjelasan yang telah lewat bahwa nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala artinya merapatnya hubungan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara menunaikan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dengan baik. Baik itu berupa hak-hak yang wajib maupun hak-hak yang mustahab.
Al Khathabi rahimahullahu mengatakan, “Hakekat penyandaran sebuah nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebenarnya akan kembali kepada hamba itu sendiri. Adapun Allah subhanahu wa ta’ala adalah maha kaya dan tidak membutuhkan nasehat hamba-Nya.”(Syarah Shahih Muslim, Imam An Nawawi, hal. 116)
Para ulama telah banyak menjelaskan tentang makna nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Hampir seluruh penjelasan yang mereka berikan bermuara pada satu
maksud yang sama. Sebagaimana dikatakan secara ringkas oleh Imam Nawawi
rahimahullah:
“Nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala artinya beriman
kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun,
meninggalkan segala bentuk pengingkaran dan penentangan terhadap
sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan dan
keagungan, mensucikan-Nya dari segala macam kekurangan, melaksanakan
ketaatan kepada-Nya, meninggalkan segala macam maksiat kepada-Nya, cinta
dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada
orang-orang yang taat kepada-Nya dan membenci orang-orang yang
bermaksiat kepada-Nya, memerangi orang-orang yang kufur kepada-Nya,
mengakui nikmat-nikmat-Nya dan bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut,
ikhlas dalam segala macam urusan, mengajak dan medorong orang lain untuk
berperilaku dengan sifat-sifat di atas, dan bersikap lemah lembut
kepada seluruh manusia atau sebagian dari manusia”. (Syarah Shahih Muslim, Imam An Nawawi, hal. 116)
Intinya adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah, “Nasehat kepada Allah subhanahu wa ta’ala
mencakup dua perkara: pertama adalah ikhlas dalam beribadah
kepada-Nya, dan yang kedua adalah bersaksi atas keesaan dan tunggalnya
Allah subhanahu wa ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat-Nya. (Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 136)
Adapun hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala yang mustahab, contohnya adalah tidak menyandarkan hati kepada selain Allah ta’ala, mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, senantiasa mengingat Allah ta’ala baik dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain dan perkara-perkara lainnya yang termasuk hak-hak Allah ta’ala yang mustahab.(Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal. 127)
Nasehat kepada kitab Allah (النّصيحة لكتابه)
Bentuk nasehat yang wajib kepada kitab Allah subhanahu wa ta’ala
secara ringkas adalah melindungi dan membela Al Quran dari penyimpangan
orang-orang yang hendak menyelewengkan Al Quran dan menjelaskan
penyimpangan mereka kepada umat manusia, meyakini kebenaran
berita-berita yang terkandung dalam Al Quran tanpa keraguan sedikit pun,
melaksanakan seluruh perintah-perintah dan segala hal yang terkandung
di dalam Al Quran, menjauhi setiap perkara yang dilarang dalam Al
Quran.
Bentuk nasehat lainnya adalah meyakini bahwa hukum yang terkandung di
dalam Al Quran adalah sebaik-baik hukum dan tidak ada satupun hukum
manusia yang mampu menyainginya dan mengimani bahwa Al Quran adalah
benar-benar kalam Allah Jalla wa ‘Alaa, lafadz dan maknanya, mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar telah berfirman dengannya, kemudian diterima oleh Jibril ‘alaihisalam dan Jibril menurunkannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, sebagai peringatan kepada umat manusia.(Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 137)
Imam Nawawi rahimahullahu menambahkan, diantara bentuk
nesahat kepada Al Quran adalah seseorang berusaha untuk memahami
kandungan Al Quran, mempelajari isinya, merenungi kemukjizatannya,
beramal dengan ayat-ayat yang muhkam, dan tunduk kepada ayat-ayat yang mutasyabih.( Syarah Shahih Muslim, hal. 116)
Adapun nasehat kepada Al Quran yang mustahab, contohnya
adalah memperbanyak membacanya, merenungi makna-makna yang terkandung
dalam Al Quran, berobat dengannya, baik untuk mengobati penyakit hati
maupun penyakit fisik, yaitu dengan ruqyah yang syar’i, dan contoh lainya sebagaimana keterangan yang datang dalam sunnah tentang hak-hak Al Quran.
Nasehat kepada Rasul Allah (النّصيحة لرسوله)
Nasehat kepada Rasul Allah, khususnya adalah kepada Rasulullah Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa salam
yaitu dengan membenarkan segala yang diberitakan oleh beliau, mantaati
apa yang diperintahkan oleh beliau, menjauhi segala sesuatu yang
dilarang oleh beliau dan tidak beribadah melainkan dengan apa yang
beliau shalallahu ‘alaihi wa salam syariatkan.(Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Imam Nawawi rahimahullahu menjelasakan di antara bentuk nasehat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
adalah dengan meyakini kebenaran risalah beliau dan mengimani segala
yang datang dari beliau, mentaati segala perintah dan larangan beliau.
Kemudian Imam Nawawi rahimahullahu menambahkan, diantara
bentuk yang lain adalah menolong beliau, baik ketika beliau masih hidup
ataupun telah wafat. Yaitu dengan memusuhi orang-orang yang memusuhi
beliau, mencintai orang-orang yang mencintai beliau, mengagungkan
hak-hak beliau, menghidupkan sunnah beliau, membela dan menyebarkan
dakwah dan ajaran beliau shalallahu ‘alaihi wa salam,
mempelajarinya, mendoakan beliau, lemah lembut dalam belajar dan
mengajarkan ajaran belaiu, beradab dalam membaca hadits-hadits belaiu,
dan menahan diri dari berkata-kata tentang sesuatu dalam agama tanpa
ilmu.
Nasehat yang lainnya adalah seseorang berakhlak dengan akhlak beliau, mencintai ahlul bait
dan keluarga beliau, menjauhi setiap orang yang membuat bid’ah dalam
ajaran beliau dan orang yang membenci para keluarga dan shahabat
belaiu. (Syarah Shahih Muslim, 2/116)
Nasehat kepada Pemimpin Kaum Muslimin (النّصيحة ل لأئمَّة المسلمين )
Pemimpin kaum muslimin dalam Islam, dapat digolongkan menjadi dua :
- Pertama: Mereka adalah ulama, yaitu ulama rabbaniyin. Mereka merupakan pewaris Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, baik ilmu, ibadah, akhlak dan dakwahnya. Para ulama inilah yang menjadi pemimpin kaum muslimin yang haqiqi, karena merekalah yang mendidik umat dan merekalah yang menjadi pembimbing para penguasa kaum muslimin, mereka lah yang menjelaskan Islam dan menyeru manusia untuk masuk ke dalam agama Islam.
- Kedua: Pemimpin kaum muslim yang kedua adalah al umara / penguasa yang menjalankan kekuaksaannya berdasarkan hukum-hukum Allah ta’ala.
Bentuk nasehat kepada al‘ulama arrabbanyin adalah mencintai
mereka, menolong mereka dalam menjelaskan kebenaran kepada manusia,
baik dengan menyebarkan tulisan-tulisan mereka atau melalui
sarana-sarana lain yang sangat beragam dan berbeda-beda di tiap waktu
dan tempat. Nasehat kepada ulama yang lain adalah membela mereka dari
celaan orang-orang yang membenci mereka dan memberitahu mereka dengan
baik dan penuh rasa hormat, tatkala mereka terjatuh kepada kesalahan. ( Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 140)
Adapun bentuk nasehat kepada al umara’ adalah dengan
mengakui kepemimpinan dan kekuasaan mereka, menyebarkan
kebaikan-kebaikan mereka di tengah-tengah masyarakat, dimaksudkan dengan
tersebarnya kebaikan-kebaikan seorang penguasa, maka masyarakat pada
umumnya akan lebih mudah untuk menaati mereka. (Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 140-141)
Kemudian bentuk nasehat lainnya adalah mentaati perintah-perintah
mereka dan larangan-larangan mereka selama perintah dan larangan mereka
tidak menyelisihi syari’at Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…(النساء : 59)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan penguasa kalian”(An Nisa: 59).
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, bahwa perintah “taatilah” dalam ayat tersebut, diulang dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat
muthlak. Adapun dalam perintah taat kepada penguasa, di dalam ayat
tersebut tidak ada kata perintah “taatilah”. Hal ini
mengisyaratkan bahwa taat kepada penguasa tidak bersifat muthlak, yaitu
ketaatan kepada mereka adalah ketika tidak bertentangan dengan syariat
Allah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam .
Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda
لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق
Artinya : “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Al Khaliq (Allah)”[5]
Selain itu diantara bentuk nasehat kepada al umara’ yang
lainnya adalah menasehati mereka dengan lemah lembut dan kata-kata yang
sopan, ketika mereka terjatuh kepada kekeliruan dan tidak memberontak
kepada mereka, meskipun penguasa tersebut adalah orang yang dholim dan fajir, selama penguasa tersebut muslim. Bahkan perkara ini merupakan ijma’ para ulama ahlus sunnah wal jamaah, dan menyelisihi keyakinan firqah sesat khawarij.
Imam Nawawi rahimahullahu berkata
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع
“Dan adapun memberontak kepada mereka (para penguasa) dan
memerangi mereka, maka hal ini merupakan keharaman, dengan kesepakatan
kaum muslimin.” (Syarah Shahih Muslim, hal. 472)
Ibnu Bathal rahimahullahu berkata:
في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على
وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما
في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء وحجتهم هذا الخبر وغيره مما يساعده
ولم يستثنوا من ذلك إلا إذا وقع من السلطان الكفر
“Dalam hadits ini terdapat hujjah atas terlarangnya memberontak
kepada penguasa, meskipun mereka dholim, dan para ulama ahli fiqih telah
sepakat atas wajibnya taat kepada para penguasa yang mutagholib[6],
dan wajib berjihad bersama mereka. Dan sesungguhnya mentaati mereka
adalah lebih baik dari pada memberontak kepada mereka. Karena dengannya,
pertumpahan darah bisa dihindari, dan ketentraman dapat terwujud.
Dalil mereka adalah hadits ini, dan hadits lainya yang serupa
dengannya. Para ulama tidak mengecualikan kesepatakan ini melainkan
jika para penguasa tersebut telah jatuh pada kekufuran yang nyata. (Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari, Maktabah Syamilah)
Nasehat kepada Kaum Muslimin secara Umum ( النّصيحة لعَامَّة الْمسلمين)
Bentuk nasehat kepada kaum muslimin, secara umum yaitu membimbing
mereka untuk menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hal ini mecakup
berbagai perkara, diantaranya: mencintai mereka karena Allah, menolong
mereka dalam kebaikan, saling tolong menolong dalam kebajikan, dan
tidak saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat,
menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran dan menasehati mereka
dengan berbagai macam jenis nasehat, baik dengan lisan maupun
perbuatan.
Bentuk lainnya adalah dengan mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang mereka lakukan, dalam rangka menjaga hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Sehingga apabila dipandang perlu untuk melakukan hukuman, maka
hendaklah ditegakkan hukuman kepada mereka, yaitu berupa hukuman had atau yang lainnya. (Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal. 127)
Syaikh Utsaimin rahimahullahu menambahkan yaitu dengan
menampakkan wajah yang ceria kepada mereka, menyebarkan salam kepada
mereka tatkala bertemu, menasehati dan menolong mereka, dan yang
lainnya, yang dengannya akan terwujud kebaikan dan tercegah keburukan. (Syarah Arba’in Nawawiyah, Muhammad bin Sholeh Al’Utsaimin, hal. 143)
Demikianlah apa yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama. Semoga dapat memberikan faedah, terutama kepada penulis. Wallahu ta’ala a’lamu bishowab, alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimush shalihat.
Abu Fauzan Hanif Nur Fauzi (santri Ma’had ‘Ilmi)
[1] HR.Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayan anna ad Dinna An Nashihatu (Bab Penjelasan bahwa Agama adalah Nasehat) no. 55.[2]Mubtada’ adalah sebuah kata yang diterangkan dalam konteks pembicaraan tersebut, yang pada umunya berada di awal kalimat. (Al Qowa’idul Asasiyah, hal. 97). Dalam hadits tersebut mubtada’-nya adalah Ad Diinu.
[3]Khobar adalah kata yang memberikan keterangan pada mubtada’, sehingga susunan antara mubtada’ dan khobar merupakan kalimat yang sempurna maknanya. (Al Qowa’idul Asasiyah, hal. 97). Dalam hadits tersebut khobar-nya adalah An Nashihatu.
[4] Ma’rifat adalah sebuah kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang sudah tertentu dan jelas (definit). (Al Qowa’idul Asasiyah, hal.61). Biasanya kata yang ma’rifat adalah kata yang diawali dengan al- (ال). Dalam lafadz hadits tersebut, mubtada’ dan khobar, keduanya didahului oleh al- (ال).
[5] Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi
[6] Penguasa mutagholib artinya penguasa yang berhasil menjatuhkan kekuasaan pemerintah sebelumnya.